Kewajiban untuk berijtihad ( berupaya ) menentukan antara benda yang suci dengan yang terkena najis ( 8 )

Penulis Muqaddimah Hadramiyyah rahimahullahu berkata,

إذا اشتبه عليه طاهر بمتنجس ، اجتهد وتطهّر بما ظنّ طهارته ولو أعمی.

Jika seseorang mendapati dua air yang satu suci dan yang lainnya terkena najis namun tidak tau secara pasti mana diantara keduanya yang suci, maka wajib baginya menentukan salah satu dari keduanya kemudian bersuci dengan pilihannya tersebut bedasarkan persangkaan kuatnya walaupun orang tersebut buta.

وأذا أخبره بتنجّسه ثقة وبيّن السبب أو کان فقيها موافقا ، اعتمده

Jika ada orang yang dapat dipercaya mengatakan tentang kenajisan satu air ( atau benda yang lain ) dan menjelaskan alasannya atau ada orang yang paham fiqih yang sama madzhabnya ( dalam hal kenajisan air )  mengatakannya tanpa menjelaskan alasannya maka perkataan kedua orang tersebut dijadikan sandaran ( dalam memilih ).

Penjelasan singkat
Jika seseorang dihadapkan pada dua hal yang belum jelas dalam hal ini antara dua air, yang  satu suci mensucikan dan yang satunya sudah terkena najis ( mutanajis ) atau yang satunya air musta`mal maka wajib baginya berupaya menentukan diantara dua air tersebut manakah yang suci dan mensucikan. Demikian juga antara tanah atau debu yang suci mensucikan dengan debu mutanajis atau musta`mal. Hukum ini juga berlaku pada benda lain seperti pakaian dan makanan.

Gambaran masalah
Seseorang mendapati dua air yang dia yakin salah satunya suci dan mensucikan dan yang satunya mutanajis. Namun dia tidak tau manakah diantara keduanya yang suci dan mensucikan. Dalam keadaan ini wajib baginya untuk berupaya menentukan manakah yang suci mensucikan dalam keadaan waktu yang tersisa untuk mengerjakan shalat sempit dan tidak mendapati selain kedua air tersebut atau harus segera makan makanan ( untuk kasus dua makanan yang belum jelas ). Jika pada keadaan selain itu, maka hukum ijtihad mubah dan tidak sampai wajib.

Jika langsung menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa melakukan upaya untuk menentukan, maka tidak sah wudhunya walaupun pilihannya benar  ( menggunakan air suci mensucikan ). Hal ini diketahui ketika setelah itu terlihat bahwa pilihannya benar karena teranggap menjadikan mainan. Dalam hasyiah At Tarmasyi disebutkan,

فلا يجوز الهجوم من غير اجتهاد ، فلو هجم وأخذ أحدهما بلا اجتهاد وتوضأ به لم يصح وضوٶه و إن وافق الطهور بأن انکشف له لتلاعبه.

``Tidak boleh baginya langsung menggunakan air tersebut tanpa ijtihad ( melakukan upaya untuk menentukan ). Jika langsung menggunakan salah satu dari keduanya untuk berwudhu tanpa ijtihad, maka tidak sah wudhunya meskipun apa yang ia pilih adalah air yang suci dan mensucikan dikarenakan telah berbuat main-main.`` ( Hasyiah At Tarmasyi I : 343 ).

Cara ijtihad
Ijtihad atau upaya ini dilakukan dengan melihat tanda-tanda yang ada. Semisal dengan adanya getaran atau gerakan air ataupun wadahnya, dengan adanya jejak anjing di dekat wadah air dan yang semisalnya sehingga punya prasangka kuat bahwa air yang ini suci mensucikan sedangkan air yang itu mutanajis.

Orang yang wajib berijtihad
Yang wajib berijtihad dalam masalah ibadah ( semisal air yang akan digunakan untuk wudhu ) adalah orang yang punya kelayakan ibadah walaupun anak kecil namun sudah tamyiz. Jika dalam hal kepemilikan ( semisal adanya dua hal yang tidak jelas mana barang yang menjadi miliknya dan milik orang lain ) adalah mukallaf.

Syarat-syarat ijtihad
Dibolehkan berijtihad jika terpenuhi syarat-syarat berikut :

1. Salah satu dari dua air tersebut pada asalnya suci mensucikan. Seperti air mutanajis dan air musta`mal, berbeda dengan air kencing atau air bunga mawar yang keduanya sejak asalnya bukan suci mensucikan. Jika tidak jelas antara air suci mensucikan dengan air kencing, maka tidak boleh ijtihad namun dibuang salah satunya kemudian tayamum. Untuk kasus antara air suci mensucikan dengan air bunga mawar yang juga tidak ada ijtihad, maka keduanya dipakai secara bergantian dalam satu wudhu. ( Busyro Al-Karim : 83 )

2. Ada kemungkinan muncul tanda yang bisa menjadi dasar ijtihad. Seperti berubahnya posisi wadah, berkurangnya air, bergetar atau bergeraknya wadah ataupun air, posisinya dekat dengan anjing dan yang semisalnya. Hal ini berbeda dengan yang tidak memungkinkan adanya tanda-tanda. Para ulama mencontohkan bercampurnya perempuan yang menjadi mahram dengan yang non mahram, dalam hal ini tidak ada ijtihad. Turunan dari masalah ini, jika bersentuhan dengan salah satu dari perempuan tersebut maka tidak membatalkan wudhu. ( Hasyiah At Tarmasyi I : 347 )

3. Bukan pada satu benda saja. Jika ada hal yang belum jelas pada satu benda, maka tidak ada ijtihad. Semisal pada satu baju yang terkena najis namun tidak diketahui bagian mana yang terkena najis. Dalam hal ini tidak ada ijtihad kemudian mencuci bagian tertentu saja, namun wajib untuk mencuci baju tersebut secara keseluruhan.

4. Yakin bahwa salah satu dari dua benda tersebut terkena najis berdasarkan informasi dari orang yang adil.

5. Waktunya longgar untuk bisa berijtihad, thaharah dan shalat. Jika waktunya sempit maka langsung tayamum dan diulang shalatnya menurut pendapat ibnu hajar. ( Busyro Al-Karim : 84 )

6. Munculnya tanda. Ini lebih tepat dimasukkan syarat beramal setelah berijtihad baik orang yang bisa melihat ataupun orang buta karena tanda-tanda juga bisa diketahui oleh orang buta semisal dengan mendengar suara, berkurangnya air dan bergetarnya tutup wadah. Jika orang buta tidak menemukan tanda-tanda, maka taqlid ( mengikuti pendapat ) orang lain. Namun jika tidak ada orang yang bisa diikuti atau orang yang diikuti lebih dari satu dan berbeda pendapat, maka dia bertayamum. Adapun orang yang bisa melihat tetapi tidak mendapatkan tanda-tanda, maka bertayamum dengan membuang kedua air tersebut dikarenakan salah satunya suci mensucikan secara pasti sedangkan tayamum tidak  sah jika ada air suci mensucikan. Dalam hal ini orang yang bisa melihat tidak boleh taqlid pada orang lain. ( Al-Minhaj Al-Qowim : 43 )

Kewajiban mengulang ijtihad
Wajib melakukan ijtihad ulang setiap kali akan bersuci walaupun hanya memperbarui bersuci ( belum terjadi pembatal ) walaupun air tersebut tidak mencukupi dikarenakan wajibnya menggunakan air untuk bersuci walaupun tidak mencukupi. Kemudian jika ijtihad yang kedua hasilnya sama dengan ijtihad pertama, maka bisa diamalkan. Namun jika hasilnya beda, dibuang semuanya kemudian tayamum. ( Al-Minhaj Al-Qowim : 44 )

Beramal berdasarkan informasi orang lain
Jika ada orang yang  bisa dipercaya, muslim dan tidak fasiq walaupun perempuan atau budak menginformasikan bahwa salah satu air tersebut mutanajis ( dengan menentukannya ) dan menjelaskan alasannya atau tidak menjelaskan namun seorang yang paham fiqih dengan pemahaman yang sama dengan kita dalam hal kenajisan air, maka wajib bagi kita untuk beramal berdasarkan informasi orang tersebut. Berbeda jika yang memberi informasi adalah orang awam yang tidak menjelaskan alasannya atau orang tersebut berbeda paham fiqihnya, maka kita tidak mengikuti informasi tersebut. Jika yg memberi informasi adalah anak kecil, orang gila, orang fasik ataupun kafir maka tidak diterima informasi tersebut kecuali jumlah mereka banyak ( selain orang gila) dan tidak memungkinkan sepakat dalam kebohongan. ( Al-Minhaj Al-Qowim : 44 )

Allahu a`lam bish shawab.

Demikian, semoga bermanfaat.

Comments

Popular posts from this blog

Air yang makruh digunakan bersuci